Pendahuluan
Sastra
sebagai istilah yang menunjuk pada suatu ilmu dengan bahasan yang luas, yang
meliputi teori sastra ( membicarakan pengertian-pengertian dasar tentang
sastra, unsur-unsur yang membentuk suatu karya sastra, jenis-jenis sastra dan perkembangan
pemikiran sastra ), sejarah sastra ( membicarakan dinamika tentang sastra,
pertumbuhan atau perkembangan suatu karya sastra, tokoh-tokoh dan cirri-ciri
dari masing-masing tahap perkembangan suatu karya sastra).
Sastra
secara etimologi berasal dari bahasa Sansekerta, berasal dari akar kata ‘sas’,
yang dalam kata kerja turunan berarti ‘mengarahkan, mengajar, memberi
petunjuk/intruksi. Akhiran ‘tra’ menunjuk pada alat, sarana, sehingga sastra
berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran.
Biasanya kata sastra diberi awalan ‘su’ ( menjadi susastra ). Su artinya
‘baik’, indah, sehingga istilah susastra berarti pengajaran atau petunjuk yang
tertuang dalam suatu tulisan yang berisi hal-hal yang baik dan indah, atau
dengan kata lain, ‘belles-letters’ ( tulisan yang indah dan sopan ).
Sebagai
bahan dasar sastra (kesusasteraan) adalah bahasa. Bahasa yang digunakan dalam
kesusasteraan memang berbeda dengan bahasa keilmuan maupun bahasa yang
digunakan sehari-hari.
Bentuk
karya sastra juga ada beberapa macam, meliputi; Karya sastra yang berbentuk
prosa, karya sastra yang berbentuk puisi dan karya sastra yang berbentuk
drama.
Bicara
mengenai sastra tidak lepas dari fungsi dan sifatnya. Karya sastra lebih
berfungsi untuk menghibur dan sekaligus memberi pengajaran sesuatu terhadap
manusia. Sastra juga berfungsi untuk mengungkapkan adanya nilai keindahan (yang
indah), nilai manfaat (berguna), dan mengandung nilai moralitas (pesan moral).
Melihat
sastra yang begitu banyak ragam dan begitu panjang sejarahnya, menarik bagi
kita untuk sedikit membahas tentang sastra jawa. Sastra yang sekarang ini
tampak terpinggirkan dikarenakan kepentingan kebangsaan kita.
Rumusan masalah
· Sejarah perkembangan sastra jawa
· Periode sastra jawa
· Pengaruh islam dalam sastra jawa
Pembahasan
Sejarah
Perkembangan Sastra Jawa
Sejarah Sastra
Jawa dimulai dengan sebuah prasasti yang ditemukan di daerah Sukabumi
(Sukobumi), Pare, Kediri Jawa Timur. Prasasti yang biasa disebut dengan nama
Prasasti Sukabumi ini bertarikh 25 Maret tahun 804 Masehi. Isinya ditulis dalam
bahasa Jawa Kuna.
Setelah
prasasti Sukabumi, ditemukan prasasti lainnya dari tahun 856 M yang berisikan
sebuah sajak yang disebut kakawin. Kakawin yang tidak lengkap ini adalah sajak
tertua dalam bahasa Jawa (Kuna).
Biasanya
sejarah sastra Jawa dibagi dalam empat masa:
· Sastra
Jawa Kuna
· Sastra
Jawa Tengahan
· Sastra
Jawa Baru
· Sastra
Jawa Modern
Terdapat
pula kategori Sastra Jawa-Bali, yang berkembang dari Sastra Jawa Tengahan.
Selain itu, ada pulaSastra Jawa-Lombok, Sastra Jawa-Sunda, Sastra Jawa-Madura,
dan Sastra Jawa-Palembang.
Dari
semua sastra tradisional Nusantara, sastra Jawa adalah yang paling berkembang
dan paling banyak tersimpan karya sastranya. Tetapi setelah proklamasi RI,
tahun 1945 sastra Jawa agak dianaktirikan karena di Negara Kesatuan RI,
kesatuan yang diutamakan.
Bahasa
Jawa pertama-tama ditulis dalam aksara turunan aksara Pallawa yang berasal dari
India Selatan. Aksara ini yang menjadi cikal bakal aksara Jawa modern atau
Hanacaraka yang masih dipakai sampai sekarang. Dengan berkembangnya agama Islam
pada abad ke-15 dan ke-16, huruf Arab juga dipergunakan untuk menulis bahasa
Jawa; huruf ini disebut dengan nama huruf pegon. Ketika bangsa Eropa datang ke
Jawa, abjad Latin pun digunakan untuk menulis bahasa Jawa.
Berbicara
tentang sastra jawa, ternyata sastra Jawa tumbuh melalui beberapa fase, dari
Jawa kuno, Jawa menengah, hingga Jawa modern. Wujudnya juga beraneka ragam, di
antaranya berupa naskah filsafat dan keagamaan yang berbentuk prosa dan kakawin
yang berbentuk puisi. Tidak mudah untuk memahami karya sastra Jawa kuno dan
Jawa menengah. Itu memerlukan studi khusus karena berupa naskah kuno.
Cabang
ilmu yang khusus tersebut adalah filologi. Menurut buku berjudul Kalangwan,
karya Prof. Dr. P.J. Zoetmulder, filologi Jawa kuno selama ini masih tetap
terbentur pada kekurangan pengetahuan kita tentang bahasa dan latar belakang
sosial kulturalnya, sehingga banyak kata susah dipahami. Lewat karya-karya seni
inilah, para nenek moyang suku Jawa mengungkapkan ide-ide religius beserta
pandangan mereka mengenai manusia dan semesta alam.
Dahulu,
seni menulis puisi di Jawa disebut kalangwan atau kalangon, yang jika diartikan
ke bahasa Indonesia berarti ‘keindahan’. Dinamakan keindahan karena dengan
menciptakan dan menikmati karya-karya sastra, orang akan terhanyut akan pesona
untaian kata-kata, jiwa seakan melayang ke luar dari dalam dirinya (ekstasis –
‘lango’).
Pengetahuan
kita mengenai sejarah Jawa kuno terutama berdasarkan piagam-piagam dan
prasasti-prasasti lama, yang ditulis di atas batu atau lempeng-lempeng dari
perunggu. Tanggal yang tercantum di tulisan tersebut merupakan rangkaian kata
yang mengungkapkan gejala-gejala astronomis, misalnya prasasti Sukabumi:”Pada
tahun 726 penanggalan Saka, dalam bulan Caitra, pada hari kesebelas paro
terang, pada hari haryang(hari kedua dalam minggu yang memiliki jumlah hari
enam), wage(hari keempat dalam minggu yang memiliki jumlah hari lima),
saniscara(hari keempat dalam minggu yang memiliki jumlah hari tujuh)
…” dan seterusnya.
Dalam
prasasti-prasasti berikutnya, sistem penyebutan tanggal disempurnakan lagi,
sehingga juga menyebut tinggi bulan, sebuah planet tertentu, dan konstelasi
maupun konjunksi dua bintang.
Prasasti
Sukabumi dibuat pada tanggal 25 Maret 804 Masehi dan merupakan prasasti tertua
yang menggunakan bahasa Jawa kuno yang ditemukan sampai saat ini. Maka dari
itu, tanggal tersebut merupakan tonggak yang mengawali sejarah bahasa Jawa
kuno. Sejak saat itu bahasa Jawa kuno dipakai dalam kebanyakkan dokumen resmi.
Bahasa
Jawa kuno termasuk rumpun bahasa yang dikenal sebagai bahasa-bahasa Nusantara
dan merupakan sub-bagian dari kelompok linguistik Austronesia. Di antara
bahasa-bahasa Nusantara yang berjumlah sekitar 250 macam, bahasa Jawa menduduki
tempat istimewa karena karya-karya sastranya berasal dari abad ke-9 dan ke-10.
Ada
dua sifat yang nampak dalam bahasa Jawa kuno, yaitu adanya kata-kata yang
berasal dari bahasa Sansekerta, bahasa yang secara linguistik termasuk suatu
rumpun bahasa yang lain sama sekali. Sifat kedua, walaupun pengaruh Sansekerta
cukup besar, dalam segala susunan dan ciri-ciri pokok, bahasa Jawa kuno tetap
merupakan suatu bahasa Nusantara.
Dalam
buku Sanskrit in Indonesia, J Gonda membahas pengaruh bahasa Sansekerta
terhadap bahasa-bahasa nusantara. Dalam sebuah tinjauan umum dia mencatat:
“Secara linguistik pengaruh India terhadap daerah-daerah Indonesia yang
mengalami proses Hinduisasi tidak mengakibatkan semacam pembauran antara bahasa
India sehari-hari dan salah satu idiom bahasa Nusantara, melainkan suatu bahasa
Nusantara yang diperkaya dengan penambahan dan pencampuran kata-kata Sansekerta
serta sejumlah kecil kata-kata Indo-Arya yang lebih muda.” Selanjutnya, menurut
Gonda, puisi bahasa Jawa yang disusun dalam bentuk kakawin mengandung sekitar
25% sampai 30% kesatuan kata yang berasal dari bahasa Sansekerta.
Walaupun
persentase bahasa Sansekerta cukup besar dalam bahasa Jawa kuno, namun melalui
penelitian tidak dapat dibuktikan bahwa ini disebabkan adanya hubungan
perdagangan India-Indonesia dan penyebaran agama Hindu di Jawa. Bahasa
Sansekerta bukan bahasa sehari-hari, namun merupakan bahasa ilmu sastra, bahasa
sastra keagamaan Hindu, dan bahasa yang dipakai dalam lapisan atas, khususnya
istana.
Memakai
kata-kata Sansekerta pada saat itu merupakan suatu mode, untuk menaikkan status
atau gengsi karena Sansekerta dianggap berasal dari kebudayaan yang lebih
tinggi. Alasan lain yang mendorong para pengarang memasukkan kata-kata
Sansekerta khususnya dalam puisi ialah keinginan mereka untuk memperkaya
kosakata juga untuk mematuhi kaidah-kaidah dalam puisi. Kaidah-kaidah itu
seperti metrum dan naik turunnya suara.
Pada
waktu dokumen-dokuemen itu ditulis, yaitu pada abad ke-9, pusat kekuasan politis
dan kehidupan kebudayaan terdapat di Jawa Tengah. Sekitar tahun 930 Masehi,
pusat itu bergeser ke arah timur dan sejarah Jawa Tengah berabad-abad lamanya
tidak dapat diketahui karena tidak ada karya seni atau karya arsitektur yang
dapat menceritakan kondisi pada waktu itu.
Jawa
kuno mewujudkan kebudayaan Hindu-Jawa, Ketika pada akhir abad ke-17 Kerajaan
Blambangan musnah dan kekuasaan Jawa dipegang oleh kekuasaan Islam, maka
tamatlah sastra Jawa kuno. Kondisi-kondisi agar sastra Jawa kuno dapat bertahan
dan melangsungkan eksistensinya sebagai peninggalan dari masa silam telah
lenyap. Ini disebabkan karena lenyapnya keraton-keraton, baik sentral maupun
regional, dimana karya sastra dipelihara dan terus-menerus diperbaharui oleh
para juru tulis. Selain itu disebabkan banyaknya karya sastra yang musnah pada
saat pergantian kekuasaan Hindu ke Islam.
Pada
masa pancaroba itu hanya sedikit karya sastra yang dapat bertahan, di antaranya
Ramayana dan Arjunawiwaha. Kemudian, pada akhir abad ke-18 di kalangan kraton
Surakarta terjadi suatu gerakan satra yang menghasilkan berbagai karya sastra
seni yang bermutu. Namun di Jawa, perhatian terhadap sastra Jawa kuno telah
surut. Pusat-pusat yang dahulu memancarkan gairah bagi aktivitas kesusastraan
telah tiada. Kita patut berterima kasih kepada Majapahit. Kerajaan ini
mengekspansi Bali dan karya sastra Jawa kuno juga banyak tersebar di pulau ini.
Di Bali, keraton-keraton tetap menjadi warisan kebudayaan Hindu-Jawa dan tetap
memperhatikan serta mempelajari tulisan-tulisan keagamaan kuno itu.
Sastra-sastra
yang termasuk sastra Jawa kuno dalam perkembangannya mengalami banyak
perubahan. Ada kata-kata yang tidak dipakai, banyak kata-kata baru, perubahan
semantis juga terjadi. Ini dapat kita amati setelah membanding-bandingkan
berbagai karya sastra. Namun bila kita membandingkan karya pada akhir abad
ke-11, Arjunawiwaha, dengan karya pada akhir abad ke-15, Siwaratrikalpa
(Lubdhaka), ternyata sedikit sekali perbedaan dalam fonetika dan gramatikal.
Hanya karena Arjunawiwaha ditulis lebih dahulu dan Lubdhaka ditulis kemudian,
maka karya kedua itu disebut karya Jawa pertengahan. Istilah tersebut
seolah-olah menggambarkan bahwa Jawa pertengahan merupakan bentuk bahasa pada
akhir jaman Hindu-Jawa dan suatu tahap peralihan antara Jawa kuno yang sering
kita jumpai dalam kakawin klasik dan bahasa Jawa modern pada abad-abad
kemudian.
Pada
sastra Jawa kuno – dalam arti luas – ada dua macam puisi, yaitu kakawin dan
kidung. Kakawin menggunakan metrum-metrum dari India, sedangkan kidung menggunakan
metrum-metrum asli Jawa. Dalam bahasanya pun terdapat perbedaan. Kakawin
menggunakan bahasa Jawa kuno dalam arti sebenarnya, sedangkan kidung
menggunakan bahasa Jawa pertengahan. Namun, kalimat tersebut tidak dapat
dibalik, seolah-olah Jawa kuno merupakan bahasa yang dipakai dalam kakawin dan
Jawa pertengahan ialah bahasa yang dipakai dalam kidung.
Periodesasi
Sastra Jawa
Perioderisasi
sastra Jawa masih merupakan bahan menarik untuk dikaji, terutama jawa kuno dan
jawa pertengahan. Kakawin walaupun digolongkan ke dalam sastra Jawa kuno
ternyata dapat bertahan hingga seribu tahun, karena adanya kaidah yang ketat
dalam penulisannya. Kakawin ditulis dalam sustu bentuk sastra Jawa kuno yang
khusus, dan setiap orang yang menulis sebuah syair sejenis itu berkewajiban
untuk meniru bahasa tradisional, walaupun bahasa itu dalam perputaran waktu
telah manjadi bahasa yang mati. Di Bali, setelah Majapahit runtuh, juga masih
ditulis, sehingga tradisi lokal di Bali menganggap beberapa kakawin sebagai
hasil penulisan pada abad ke-19. Ini menyebabkan kita tidak dapat menyimpulkan
bahwa sastra kakawin mencerminkan bahasa jamannya. Ini juga dialami oleh sastra
Jawa pertengahan. Pada kidung tidak dapat ditentukan tanggal penulisan.
Kebiasaan penulis kakawin yang menyebut nama raja serta tanggal kejadian, tidak
ditemui di kidung.
Sedikit
sebagai patokan dalam perioderisasi sastra Jawa, kebanyakkan kidung ditulis di
Bali. Berdasarkan karya-karya yang kita miliki, semua karya sastra Jawa
pertengahan berasal dari Bali, tetapi tidak berarti bahwa karya ini tidak
dikenal di Jawa sebelum runtuhnya Majapahit.
Istilah
Jawa kuno, Jawa pertengahan, dan Jawa modern jika ditilik dari linguistik
benar-benar membingungkan. Seolah-olah perioderisasi ini dibuat hanya
berdasarkan masa atau kejadian tertentu. Istilah Jawa modern biasanya dipakai
untuk menunjukkan bahasa yang dipakai dalam sastra Jawa padaawal abad ke-19.
Menurut
sebuah teori, perioderisasi sastra tersebut berdasarkan rangkaian-rangkaian
peristiwa. Hingga masa kekuasaan Majapahit, selain bahasa Jawa kuno yang
digunakan menulis kakawin, jugaada bahasa Jawa lain, yang juga digunakan untuk
menulis karya sastra lain. Setelah muncul kekuasaan Islam, bahasa Jawa lain itu
pecah menjadi dua, yaitu bahasa Jawa yang dipergunakan di Bali dan disebut Jawa
pertengahan, dan bahasa yang digunakan masyarakat Islam selanjutnya yang
disebut Jawa modern. Memang teori ini masih memiliki kelemahan-kelemahan, namun
secara rasional dapat diterima.
Dahulu,
sastrawan Jawa menulis karyanya di lempengan batu dan prasasti, namun ada juga
yang menggunakan daun lontar. Lontar tersebut diproses hingga menjadi kaku dan
siap ditulisi. Jika berupa cerita, biasanya lontar tersebut dipotong-potong
berukuran panjang 40-60 cm dan 3-5 cm untuk lebarnya. Bagian ujung dilubangi
sehingga dapat dibendel kemudian diberi cover dari bahan yang lebih tebal.
Sayangnya daun lontar tidak dapat bertahan lama. Kerusakan umumnya disebabkan
karena serangga. Jarang ada daun lontar yang sanggup bertahan berabad-abad,
Indonesia hanya memiliki daun lontar yang berumur 1-1.5 abad. Koleksi karya
sastra kuno tersebut ada di tiga tempat, yaitu: Perpustakaan nasional di
Jakarta, perpustakaan Universitas negeri Liden, Belanda, dan perpustakaan
Kirtya di Singaraja. Koleksi terbanyak ada di Leiden. Ini tidak mengherankan
karena pada saat itu pemerhati budaya Jawa banyak berasal dari Belanda.
Karya-karya
sastra Jawa turut andil dalam perkembangan sastra Nusantara, karya-karya
pujangga besar seperti Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca, Arjunawiwaha-Mpu
Kanwa, Sutasoma, Ramayana, Desawarnana, Porusadasanta, Kidung Sunda, dan masih
banyak lagi yang lain. Adanya karya-karya sastra tersebut hingga sekarang juga
karena jasa juru salin, yang mengawetkan karya sastra tersebut dari tahun ke
tahun. Kemungkinan kesalahan tulis dapat terjadi. Bisa dikarenakan
kekurangtelitian atau kemiripan huruf, kesalahan itu dapat terjadi.
Karya-karya
sastra tersebut merupakan salah satu kekayaan bangsa kita, dimana kita dapat
mengetahui suatu sejarah dan pemikiran nenek moyang kita. Dari uraian di atas
dapat diketahui bahwa penelitian di bidang ini masih terbuka luas. Masih banyak
hal-hal yang tidak kita ketahui, misal perdebatan akan perioderisasi sastra
Jawa, dan masih banyaknya karya yang sulit dibaca. Perlu adanya tekad dan usaha
kita sebagai bangsa yang mencintai budaya untuk tetap melestarikan karya-karya
langka ini. Memang upaya ini tidak bisa dipaksakan ke generasi muda mengingat
banyaknya hal-hal yang mungkin lebih menarik minat mereka. Namun pasti di antara
mereka masih banyak yang sadar dan mencintai budaya, mungkin perlu adanya suatu
badan yang mengkoordinasi upaya pelestari sastra Jawa, dimana
kegiatan-kegiatannya dapat menarik minat para pemuda-pemudi bangsa.
1. Periodesasi
sastra jawa kuno
Sastra
Jawa Kuno atau seringkali dieja sebagai Sastra Jawa
Kuna meliputi sastra yang ditulis dalambahasa Jawa Kuna pada periode
kurang-lebih ditulis dari abad ke-9 sampai abad ke-14 Masehi, dimulai
denganPrasasti Sukabumi. Karya sastra ini ditulis baik dalam bentuk prosa
(gancaran) maupun puisi (kakawin). Karya-karya ini mencakup genre seperti sajak
wiracarita, undang-undang hukum, kronik (babad), dan kitab-kitab
keagamaan.
Sastra
Jawa Kuno diwariskan dalam bentuk manuskrip dan prasasti. Manuskrip-manuskrip
yang memuat teks Jawa Kuno jumlahnya sampai ribuan sementara prasasti-prasasti
ada puluhan dan bahkan ratusan jumlahnya. Meski di sini harus diberi catatan
bahwa tidak semua prasasti memuat teks kesusastraan.
Karya-karya
sastra Jawa penting yang ditulis pada periode ini termasuk Candakarana, Kakawin
Ramayana dan terjemahan Mahabharata dalam bahasa Jawa
Kuno.
Karya
sastra Jawa Kuno sebagian besar terlestarikan di Bali dan ditulis pada
naskah-naskah manuskrip lontar. Walau sebagian besar sastra Jawa Kuno
terlestarikan di Bali, di Jawa dan Madura ada pula sastra Jawa Kuno yang
terlestarikan. Bahkan di Jawa terdapat pula teks-teks Jawa Kuno yang tidak
dikenal di Bali.
Penelitian
ilmiah mengenai sastra Jawa Kuno mulai berkembang pada abad ke-19 awal dan
mulanya dirintis oleh Stamford Raffles, Gubernur-Jenderal dari Britania Raya
yang memerintah di pulau Jawa. Selain sebagai seorang negarawan beliau juga
tertarik dengan kebudayaan setempat. Bersama asistennya, Kolonel Colin
Mackenzie beliau mengumpulkan dan meneliti naskah-naskah Jawa Kuno.
Istilah
sastra Jawa Kuno agak sedikit rancu. Istilah ini bisa berarti sastra dalam
bahasa Jawa sebelum masuknya pengaruh Islam atau pembagian yang lebih halus
lagi: sastra Jawa yang terlama. Jadi merupakan sastra Jawa sebelum masa sastra
Jawa Pertengahan. Sastra Jawa Pertengahan adalah masa transisi antara sastra
Jawa Kuno dan sastra Jawa Baru. Di dalam artikel ini, pengertian terakhir
inilah yang dipakai
2. Periodesasi sastra
jawa baru
Sastra
Jawa Baru kurang-lebih muncul setelah masuknya agama Islam
di pulau Jawa dari Demak antara abad kelima belas dan keenam belas Masehi.
Dengan
masuknya agama Islam, orang Jawa mendapatkan ilham baru dalam menulis karya
sastra mereka. Maka, pada masa-masa awal, zaman Sastra Jawa Baru, banyak pula
digubah karya-karya sastra mengenai agama Islam. Suluk Malang Sumirang adalah
salah satu yang terpenting.
Kemudian
pada masa ini muncul pula karya-karya sastra bersifat ensiklopedis seperti
Serat Jatiswara danSerat Centhini. Para penulis ‘ensiklopedia’ ini rupanya ingin
mengumpulkan dan melestarikan semua ilmu yang (masih) ada di pulau Jawa, sebab
karya-karya sastra ini mengandung banyak pengetahuan dari masa yang lebih
lampau, yaitu masa sastra Jawa Kuna.
Gaya
bahasa pada masa-masa awal masih mirip dengan Bahasa Jawa Tengahan. Setelah
tahun ~ 1650,bahasa Jawa gaya Surakarta menjadi semakin dominan. Setelah masa
ini, ada pula renaisans Sastra Jawa Kuna. Kitab-kitab kuna yang bernapaskan
agama Hindu-Buddha mulai dipelajari lagi dan digubah dalam bahasa Jawa Baru.
Sebuah
jenis karya yang khusus adalah babad, yang menceritakan sejarah. Jenis ini juga
didapati pada Sastra Jawa-Bali.
3. Periodesasi
sastra jawa pertengahan
Sastra
Jawa Pertengahan muncul di Kerajaan Majapahit, mulai dari abad
ke-13 sampai kira-kira abad ke-16. Setelah ini, sastra Jawa Tengahan diteruskan
di Bali menjadi Sastra Jawa-Bali. Pada masa ini muncul karya-karya puisi yang
berdasarkan metrum Jawa atau Indonesia asli. Karya-karya ini disebut kidung.
Daftar
Prosa Sastra Jawa Tengahan
Tantu
Panggelaran
Calon
Arang
Tantri
Kamandaka
Korawasrama
Pararaton
Daftar
Puisi Sastra Jawa Tengahan
Kakawin
Dewaruci
Kidung
Sudamala
Kidung
Subrata
Kidung
Sunda
Kidung
Panji Angreni
Kidung
Sri Tanjung
4. Periodesasi
sastra jawa moderen
Sastra
Jawa Modern muncul setelah pengaruh penjajah Belanda dan
semakin terasa di Pulau Jawa sejak abad kesembilan belas Masehi.
Para
cendekiawan Belanda memberi saran para pujangga Jawa untuk menulis cerita atau
kisah mirip orangBarat dan tidak selalu berdasarkan mitologi, cerita wayang, dan
sebagainya. Maka, lalu muncullah karyasastra seperti di Dunia Barat; esai, roman, novel,
dan sebagainya. Genre yang cukup populer adalah
tentangperjalanan.
Gaya
bahasa pada masa ini masih mirip dengan Bahasa Jawa Baru. Perbedaan utamanya
ialah semakin banyak digunakannya kata-kata Melayu, dan juga kata-kata Belanda.
Pada
masa ini (tahun 1839, oleh Taco Roorda) juga diciptakan huruf cetak berdasarkan
aksara Jawa gayaSurakarta untuk Bahasa Jawa, yang kemudian menjadi standar di
pulau Jawa.
Pengaruh
Islam Dalam Sastra Jawa
Maksud
keterkaitan antara Islam dengan karya sastra Jawa adalah keterkaitan yang
bersifat imperative moral atau mewarnai. Islam mewarnai dan menjiwai
karya-karya sastra Jawa baru, sedangkan puisi (tembang/sekar macapat) dipakai
untuk sarana memberikan berbagai petunjuk/nasehat yang secara subtansial
merupakan petunjuk/nasehat yang bersumber pada ajaran Islam.
Hal
ini terjadi karena para pujangga tersebut jelas beragama Islam. Kualitas
keislaman para pujangga saat ini tentunya berbeda dengan kualitas saat sekarang
ini. Jadi, para pembaca seharusnya menyadari bahwa pengetahuan ajaran Islam
saat itu (abad 18-19) belum sebanyak seperti sekarang ini, sehingga dalam
menyampaikan petunjuk/nasehat para pujangga melengkapi diri dari kekurangannya
mengenai pengetahuan ke-islaman dengan mengambil hal-hal yang dianggap baik dan
tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Artinya, munculnya tembang/sekar
macapat ini berbarengan dengan munculnya Islam di Jawa, yaitu setelah kejatuhan
kerajaan Majapahit yang hindu.
Dengan
kata lain, Islam mewarnai dan menjiwai karya-karya sastra para pujangga keraton
Surakarta sehingga semua karya-karya sastranya itu berupa puisi yang berbentuk
tembang/sekar Macapat.
Istilah
‘interelasi’ (dalam topik) artinya Islam di-Jawakan, sedangkan Jawa
di-Islamkan. Walaupun demikian, warna Islam terlihat sekali dalam substansinya,
yaitu :
Unsur
ketaukhidan (upaya mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa)
Unsur
kebajikan (upaya memberikan petunjuk/nasehat) kepada siapapun (petunjuk agar
berbuat kebajikan dan petunjuk untuk tidak berbuat tercela).
Maksud
dari keterkaitan antara Islam dengan karya-karya sastra Jawa adalah keterkaitan
yang sifatnya imperative moral. Artinya, keterkaitan itu menunjukkan warna
keseluruhan/corak yang mendominasi karya-karya sastra tersebut. Karya-karya
sastra Jawa adalah karya sastra para pujangga keraton Surakarta yang hidup pada
zaman periode Jawa baru yang memiliki metrum Islam. Memiliki corak jihad,
masalah ketauhidan, moral/perilaku yang baik dan sebagainya.
Penutupan
Dengan
gambaran singkat mengenai pembahasan dalam makalah ini, maka di harapkan dapat
menambah wawasan para pembaca mengenai Sastra Jawa, sehingga pengetahuan akan
semakin kuat dan mengakar dalam hati para pembaca.
Kami
memahami bahwa dalam makalah ini masih banyak ditemui banyak kekurangan dan
banyak hal yang harus diperbaiki. Maka dari itu, kami maengharapkan adanya
saran dan kritik yang bersifat membangun agar dapat menjadi bahan evaluasi kami
dalam menyusun makalah sehingga dikemudian hari dapat tercipta makalah yang
lebih baik lagi.
Daftar
Pustaka
• Amin, Drs, Darori, Islam
dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000.
• Astianto, Henny, Filsafat
Jawa, Yogyakarta: Warta Pustaka, 2006.
• Faruqi, Ismail R, Islam
dan Kebudayaan, Bandung: MIZAN, 1984.
• Hasan, M, Tholhah, Islam
dalam Perspektif Sosial Cultural, Jakarta: Lata Bora Pers, 1987.
• Padmosoekotjo, Ngengrengan
Kasusastran Djawa. Jogjakarta: Hien Hoo Sing, 1960.
• Subalidinata, Kawruh
Kasusastran Jawa, Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 1994,
• Suryadi, Linus, Dari
Pujangga ke Pengarang Jawa, Yogyakarta: Pustaka Belajar, 1995.
• Tajdrasasmita, Dr. H. Uka, Kajian
Naskah-Naskah Klasik, Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang
dan Diklat DEPAG RI, 2006.
Best Online Casinos - Asian Handicap Games fun88 soikeotot fun88 soikeotot 바카라사이트 바카라사이트 온라인카지노 온라인카지노 우리카지노 마틴 우리카지노 마틴 메리트 카지노 고객센터 메리트 카지노 고객센터 planet win 365 planet win 365 260 VR Sports App ᐈ Review | Bet Now!
BalasHapus